SUNAN KUDUS
Sunan Kudus Dalam Babad Tanah Jawi
Babad Tanah Jawi (selanjutnya
disebut BTJ) adalah terjemahan dari Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking
Nabi Adam Doemoegiing Taoen 1647 yang disusun oleh W. L. Olthof di Leiden,
Belanda, pada tahun 1941. Seperti pada pengertian babad pada umumnya, di sini
terdapat cerita-cerita tentang pendirian sebuah negara (kerajaan) dan
peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar kerajaan tersebut.
“…Orang di tanah Jawa taat serta
menganut agama Islam. Mereka bermusyawarah akan mendirikan masjid di Demak.
Para wali saling berbagi tugas, semua sudah siap sedia. Hanya Sunan Kali Jaga
yang masih ketinggalan, bagian garapannya belum berbentuk, sebab sedang tirakat
di Pamantingan. Sekembalinya ke Demak, masjid sudah akan didirikan. Sunan Kali
Jaga segera mengumpulkan sisa-sisa kayu bekas sudah menjadi tiang.Pagi harinya
tanggal 1 bulan Dulkangidah masjid didirikan dengan sengkalan tahun 1428.
Kiblat di masjid searah dengan ka’bah di Mekkah. Penghulunya Sunan Kudus.
Setelah beberapa Jumat berdirinya masjid tadi, ketika para wali sedang
berdzikir bersama di masjid itu, Sunan Kudus duduk khusuk bertafakur di bawah
beduk, tiba-tiba ada bungkusan jatuh dari atas-buku kulit kambing, di dalamnya
ada sajadah serta selendang Kanjeng Rasul.
“Pada waktu itu banyak orang Jawa
yang belajar agama Islam, kedigdayaan, dan kekuatan badan. Ada dua orang guru
yang terkenal, yaitu Sunan Kali Jaga dan Sunan Kudus. Sunan Kudus itu muridnya
tiga orang, yaitu Arya Penansang di Jipang, Sunan Prawata, dan Sultan Pajang.
Yang paling disayang adalah Arya Penansang.
Waktu itu Sunan Kudus sedang
duduk-duduk di rumahnya dengan Pangeran Arya Penansang, Sunan Kudus berkata
kepada Arya Penansang, “Orang membunuh sesama guru itu, hukumnya apa?” Perlahan
jawab Arya Penangsang, “Hukumnya harus dibunuh, tetapi saya belum tahu siapa
yang berbuat demikian itu.” Sunan Kudus berkata,”Kakakmu di Prawata.” Arya
Penansang setelah mendengar perintah Sunan Kudus, bersedia membunuh Sunan
Prawata. Ia lalu mengutus abdi pengawalnya bernama Rangkud dan diperintah untuk
membunuh Sunan Prawata. Rangkud lalu berangkat. Sesampai di Prawata ketemu
dengan Sunan Prawata yang sedang sakit dan bersandar pada istrinya. Setelah
melihat Rangkud Sunan Prawata bertanya, “Kamu itu orang siapa?” Rangkud
menjawab, “Saya adalah utusan Arya Penansang, memerintahkan untuk membunuhmu.”
Sunan Prawata berkata, “Ya, terserah, tetapi saya sendiri sajalah yang engkau
bunuh, jangan mengikutkan orang lain.” Rangud lalu menusuk sekuat-kuatnya. Dada
Sunan Prawata tembus sampai ke punggungnya serta menembus dada istrinya. Sunan
Prawata setelah melihat istrinya terluka, segera mencabut kerisnya yang bernama
Kyai Betok, lalu dilemparkan ke Rangkud. Si Rangkud tergores oleh kembang
kacang (hiasan pada pangkal keris), ia jatuh di tanah lalu tewas. Sunan Prawata
dan isterinya juga meninggal dunia. Meninggalnya ber-sinengkalan tahun 1453.
Arya Penangsang begitu tega membunuh Sunan Prawata sebab ayahnya juga dibunuh
oleh Sunan Prawata, saat pulang dari sholat Jum'at. Ia dicegat di tengah jalan oleh
utusan Sunan Prawata bernama Sura Yata. Ki Sura Yata tadi juga sudah dibunuh
oleh teman ayahnya Arya Jipang.
Sunan Prawata tadi mempunyai saudara
perempuan namanya Ratu Kali Nyamat. Dia begitu tidak terima atas kematian
saudara laki-lakinya itu. Lalu berangkat ke Kudus bersama suaminya berniat
minta keadilan kepada Sunan Kudus. Lalu jawab Sunan Kudus, “Kakakmu itu sudah
hutang pati pada Arya Penangsang. Sekarang tinggal membayar hutang itu saja.”
Ratu Kali Nyamat mendengar jawaban Sunan Kudus itu sangat sakit hatinya. Lalu
kembali pulang. Di tengah jalan dibegal utusannya Arya Penansang. Laki-lakinya
dibunuh. Ratu Kali Nyamat sangat terpukul hatinya. Sebab baru saja kehilangan
saudaranya, lalu kehilangan suaminya. Ia jadi sangat menderita. Lalu bertapa telanjang
di Bukit Dana Raja. Sebagai ganti kain untuk menutup auratnya adalah rambutnya
yang diurai. Ratu Kalinyamat berprasetia tidak mau memakai kain selama hidup
jika Arya Penansang belum meninggal. Ia bernadar barangsiapa dapat membunuh
Arya Jipang, dia akan mengabdi kepadanya dan akan menyerahkan seluruh
kekayaannya.
Pada suatu ketika Sunan Kudus sedang
berbincang-bincang dengan Arya Penangsang, Sunan Kudus berkata, “Kakakmu Sunan
Prawata dan Kali Nyamat sekarang sudah mati, tapi belum lega rasanya kalau
belum menguasai tanah Jawa semua. Jika masih ada adikmu Sultan Pajang saya kira
tidak mungkin bisa jadi raja, sebab dia adalah penghalang.” Arya Penansang
berkata, “Jika diperkenankan atas izin Sunan Kudus, Pajang akan saya gempur
dengan perang, adik saya di Pajang akan saya bunuh supaya tidak ada
penghalang.” Sunan Kudus menjawab, “Maksudmu itu saya kurang setuju sebab akan
merusak negara serta banyak korban. Adapun maksud saya, kakakmu di Pajang bisa
mati, secara diam-diam saja, jangan diketahui banyak orang.” Arya Penangsang
menjawab sangat setuju. Lalu mengutus abdi pengawal untuk menculik dan membunuh
Sultan Pajang. Utusan segera berangkat. Datang di Pajang tengah malam, lalu
masuk ke dalam istana. Sultan Pajang sedang tidur berselimut kain kampuh, jarik/kain
sarung. Para istrinya tidur di bawah. Utusan menerjang dan menusuk dengan
sekuat tenaga. Sultan Pajang tidak mempan (kebal), masih enak tidur saja. Kain
yang digunakan untuk berselimut itu pun tidak tertembus. Para isrti terkejut,
bangun, menangis, dan menjerit. Sultan Pajang terkejut juga dan bangun. Kain
selimut terlempar menerpa para utusan itu, mereka terjatuh terkapar di tanah,
tiak ada yang dapat pergi….
Asal-Usul Nama Kota Kudus
Dahulu kota Kudus masih bernama
Tajug. Kata warga setempat, awalnya ada Kyai Telingsing yang mengembangkan kota
ini. Telingsing sendiri adalah panggilan sederhana kepada The Ling Sing,
seorang Muslim Cina asal Yunnan, Tiongkok. Ia sudah ada sejak abad ke-15 Masehi
dan menjadi cikal bakal Tionghoa muslim di Kudus. Kyai Telingsing seorang ahli
seni lukis dari Dinasti Sung yang terkenal dengan motif lukisan Dinasti Sung,
juga sebagai pedagang dan mubaligh Islam terkemuka. Setelah datang ke Kudus
untuk menyebarkan Islam, didirikannya sebuah masjid dan pesantren di kampung
Nganguk. Raden Undung yang kemudian bernama Ja’far Thalib atau lebih dikenal
dengan nama Sunan Kudus adalah salah satu santrinya yang ditunjuk sebagai
penggantinya kelak
Kota ini sudah ada perkembangan
tersendiri sebelum kedatangan Ja’far Shodiq. Beberapa kiah tutur percaya bahwa
Ja’far itu seorang penghulu Demak yang menyingkir dari kerajaan. Awal kehidupan
Sunan Kudus di Kudus adalah dengan berada di tengah-tengah jamaah dalam
kelompok kecil. Penafsiran lainnya itu memperkirakan bahwa kelompok kecilnya
itu adalah para santrinya sendiri yang dibawa dari Demak sana, sekaligus juga
tentara yang siap memerangi Majapahit. Versi lainnya mereka itu adalah warga
setempat yang dipekerjakannya untuk menggarap tanah ladang. Berarti ada
kemungkinan juga Ja’far memenuhi kebutuhan hidupnya di Kudus dimulai dengan
menggarap ladang.
Fakta Mengenai Sunan Kudus
Sunan Kudus berhasil menampakkan
warisan budaya dan tanda dakwah islamiyahnya yang dikenal dengan pendekatan
kultural yang begitu kuat. Hal ini sangat nampak jelas pada Menara Kudus yang
merupakan hasil akulturasi budaya antara Hindu-China-Islam yang sering
dikatakan sebagai representasi menara multikultural. Aspek material dari Menara
Kudus yang membawa kepada pemaknaan tertentu melahirkan ideologi pencitraan
tehadap Sunan Kudus. Oleh Roland Barthes disebut dengan mitos (myth), yang
merupakan system komunikasi yang memuat pesan (sebuah bentuk penandaan). Ia tak
dibatasi oleh obyek pesannya, tetapi cara penuturan pesannya. Mitos Sunan Kudus
selain dapat ditemui pada peninggalan benda cagar budayanya, juga bisa ditemukan
di dalam sejarah, gambar, legenda, tradisi, ekspresi seni maupun cerita rakyat
yang berkembang di kalangan masyarakat Kudus. Kini ia populer sebagai seorang
wali yang toleran, ahli ilmu, gagah berani, kharismatik, dan seniman.
Satu fakta utama yang dapat
masyarakat lihat pada mata uang kertas Rp. 5.000,00 dengan gambar Menara Kudus.
Ini merupakan suatu bentuk apresiasi dari Gubernur Bank Indonesia yang dijabat
oleh Arifin Siregar pada masa itu. Berikut petikan sambutannya: “…Kami sewaktu
bertugas sebagai Gubernur Bank Indonesia mendapat kesempatan untuk mengeluarkan
uang kertas Lima Ribu Rupiah dengan gambar Menara Kudus. Hal ini kami lakukan
antara lain mengingat keindahan dan kenggunan Menara Kudus. Disamping itu
Menara Kudus merupakan salah satu peninggalan sejarah Indonesia yang perlu
dilestarikan dan diperkenalkan kepada masyarakat kita dan juga khalayak luar
negeri.”
Mengenai hari jadi kota Kudus
sendiri (23 September 1549, berdasarkan Perda No. 11 Tahun 1990 yang
diterbitkan tanggal 6 Juli 1990) memang tak bisa dilepaskan dari patriotisme
Sunan Kudus sendiri. Bukti nyatanya dapat dilihat dalam inskripsi yang terdapat
pada Mihrab di Masjid Al-Aqsa Kudus yang dibangun pada 956 H/1549 M oleh Sunan
Kudus. Maka dalam setiap perayaan hari jadinya tak pernah lupa semangat dan
patriotisme Sunan Kudus dalam memajukan rakyat dan ummatny
Menurut Muliadi via Castles (1982);
Ismudiyanto dan Atmadi (1987); dan Suharso (1992), menyebutkan bahwa: “ Dalam
sejarah, Kudus Kulon dikenal sebagai kota lama dengan diwarnai oleh kehidupan
keagamaan dan adat istiadatnya yang kuat dan khas serta merupakan tempat
berdirinya Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus; serta merupakan pusat tempat
berdirinya rumah-rumah asli (adat pencu). Sementara Kudus Wetan terletak di
sebelah Timur Sungai Gelis, dan merupakan daerah pusat pemerintahan, pusat
transportasi, dan daerah pusat perdagangan.”
Salah satu bentuknya ialah tarian
Buka Luwur yang menggambarkan sejarah perjalanan masyarakat Kudus sepeninggal
Sunan Kudus hingga terbentuk satuan wilayah yang disebut Kudus. Tradisi ini
telah menjadi kegiatan rutin pengurus Menara Kudus setiap tanggal 10 Muharram
dengan dukungan umat Islam baik di Kudus maupun sekitarnya. Ini merupakan
prosesi pergantian kelambu pada makam Sunan Kudus diiringi doa-doa dan
pembacaan kalimah toyyibah (tahlil, shalawat, istigfar, dan surat-surat pendek
al-quran yang sebelumnya telah didahului dengan khataman quran secara utuh).
Ada lagi tradisi Dhandangan yang
digelar setahun sekali menjelang bulan Ramadhan. Pada masa Sunan Kudus tradisi
ini ditandai dengan pemukulan bedug di atas Menara Kudus (berbunyi dhang dhang
dhang). Tradisi ini pun memperkuat eksistensi Sunan Kudus. Selain itu masyarakat
Kudus hingga saat ini tak pernah berani menyembelih sapi/lembu sebagai suatu
penghormatan kepada Sunan Kudus yang mana dakwahnya menekankan unsure
kebijaksanaan dan toleransi karena kala itu masyarakat Kudus masih beragama
Hindu yang mensucikan hewan lembu. Kini, setiap Kamis malam makam Kanjeng Sunan
Kudus selalu ramai oleh peziarah dengan beragam latar beragam latar belakang
dan etnis, dari berbagai daerah. Mereka datang dengan beragam cara, baik
sendiri maupun bersama rombongan. Pada momen-momen tertentu ada yang datang
dari mancanegara
Fenomena pencitraan ini berhasil
menjadi sumber penggerak dalam bertindak (untuk beberapa hal), Bourdieu
menyebutnya sebagai “tindakan yang bermakna” baik keberagamaan maupun fenomena
budaya lainnya. Citra Sunan Kudus dalam masyarakat Kudus telah melewati kuasa
dan pertarungan sistem tanda yang merekontruksi budaya lokal mereka. Suatu
tandanya dapat dihubungkan dengan tanda lain yang dapat ditemui dalam model
keberagamaan maupun kontruksi budaya masyarakat agama (Islam). Jadilah mereka
memiliki identitas keislaman yang khas dan unik serta memiliki warisan spirit
dan patriotisme yang melegenda. Hal ini terus digali hingga menjadi model dalam
sosial-budaya dan sikap keberagamaan umat Islam (suatu identitas kultural)
Pendidikan Sunan Kudus
Kanjeng Sunan Kudus (selanjutnya
disingkat KSK) banyak berguru kepada Sunan Kalijaga dan ia menggunakan gaya
berdakwah ala gurunya itu yang sangat toleran pada budaya setempat serta cara
penyampaian yang halus. Didekatinya masyarakat dengan memakai simbol-simbol
Hindu-Budha seperti yang nampak pada gaya arsitektur Masjid Kudus. Suatu waktu
saat KSK ingin menarik simpati masyarakat untuk mendatangi masjid guna
mendengarkan tabligh akbarnya, ia tambatkan Kebo Gumarang (sapinya) di halaman
masjid. Masyarakat yang saat itu memeluk agama Hindu pun bersimpati, dan
semakin bersimpati selepas mendengarkan ceramah KSK mengenai “sapi betina” atau
Al-Baqarah dalam bahasa Al-qurannya. Teknik lainnya lagi adalah dengan mengubah
cerita ketauhidan menjadi berseri, betujuan menarik rasa penasaran masyarakat.
Dakwah Sunan Kudus
Beliau adalah Sunan Kudus yang
bernama asli Syekh Ja’far Shodiq. Beliau pula yang menjadi salah satu dari
anggota Wali Sanga sebagai penyebar Islam di Tanah Jawa. Sosok Sunan Kudus
begitu sentral dalam kehidupan masyarakat Kudus dan sekitarnya. Kesentralan itu
terwujud dikarenakan Sunan Kudus telah memberikan pondasi pengajaran keagamaan
dan kebudayaan yang toleran.
Tak heran, jika hingga sekarang
makam beliau yang berdekatan dengan Menara Kudus selalu ramai diziarahi oleh
masyarakat dari berbagai penjuru negeri. Selain itu, hal tersebut sebagai bukti
bahwa ajaran toleransi Sunan Kudus tak lekang oleh zaman dan justru semakin
relevan ditengah arus radikalisme dan fundamentalisme beragama yang semakin
marak dewasa ini.
Dalam perjalanan hidupnya, Sunan
Kudus banyak berguru kepada Sunan Kalijaga. Cara berdakwahnya pun sejalan
dengan pendekatan dakwah Sunan Kalijaga yang menekankan kearifan lokal dengan
mengapresiasi terhadap budaya setempat.
Beberapa nilai toleransi yang
diperlihatkan oleh Sunan Kudus terhadap pengikutnya yakni dengan melarang
menyembelih sapi kepada para pengikutnya. Bukan saja melarang untuk
menyembelih, sapi yang notabene halal bagi kaum muslim juga ditempatkan di
halaman masjid kala itu.
Langkah Sunan Kudus tersebut tentu
mengundang rasa simpatik masyarakat yang waktu itu menganggap sapi sebagai
hewan suci. Mereka kemudian berduyun-duyun mendatangi Sunan Kudus untuk
bertanya banyak hal lain dari ajaran yang dibawa oleh beliau.
Lama-kelamaan, bermula dari situ,
masyarakat semakin banyak yang mendatangi masjid sekaligus mendengarkan
petuah-petuah Sunan Kudus. Islam tumbuh dengan cepat. Mungkin akan menjadi lain
ceritanya jika Sunan Kudus melawan arus mayoritas dengan menyembelih sapi.
Selain berdakwah lewat sapi, bentuk
toleransi sekaligus akulturasi Sunan Kudus juga bisa dilihat pada pancuran atau
padasan yang berjumlah delapan yang sekarang difungsikan sebagai tempat
berwudlu. Tiap-tiap pancurannya dihiasi dengan relief arca sebagai ornamen
penambah estetika. Jumlah delapan pada pancuran mengadopsi dari ajaran Budha
yakni Asta Sanghika Marga atau Delapan Jalan Utama yang menjadi pegangan
masyarakat saat itu dalam kehidupannya. Pola akulturasi budaya lokal
Hindu-Budha dengan Islam juga bisa dilihat dari peninggalan Sunan Kudus berupa
menara. Menara Kudus bukanlah menara yang berarsitektur bangunan Timur Tengah,
melainkan lebih mirip dengan bangunan Candi Jago atau serupa juga dengan
bangunan Pura di Bali.
Menara tersebut difungsikan oleh
Sunan Kudus sebagai tempat adzan dan tempat untuk memukul bedug setiap kali
datangnya bulan Ramadhan. Kini, menara yang konon merupakan menara masjid
tertua di wilayah Jawa tersebut dijadikan sebagai landmark Kabupaten Kudus.
Strategi (akulturasi) dakwah Sunan
Kudus adalah suatu hal yang melampaui zamannya. Melampaui zaman karena dakwah
dengan mengusung nilai-nilai akulturasi saat itu belumlah ramai dipraktikkan
oleh penyebar Islam di Indonesia pada umumnya.
Kini, toleransi beragama berada di
titik nadir. Ironisnya, toleransi beragama tak cuma menjadi barang mahal tetapi
sudah terlalu langka. Dengan jalan menghidupkan kembali esensi serta spirit
dakwah Sunan Kudus, kiranya masyarakat muslim bisa mengembalikan lagi wajah
Islam yang ramah dan toleran setelah sebelumnya dihinggapi oleh stigma
negatif.Ajaran Toleransi Ala Sunan Kudus
Karya Sunan Kudus
Pada tahun 1530, Sunan Kudus
mendirikan sebuah mesjid di desa Kerjasan, Kota Kudus, yang kini terkenal dengan nama Masjid Agung Kudus dan masih bertahan hingga sekarang.
Sekarang Masjid Agung Kudus berada di alun-alun kota Kudus Jawa Tengah.
Peninggalan lain dari Sunan Kudus adalah permintaannya kepada masyarakat untuk
tidak memotong hewan kurban sapi dalam perayaan Idul Adha untuk menghormati
masyarakat penganut agama Hindu dengan mengganti kurban sapi dengan memotong
kurban kerbau, pesan untuk memotong kurban kerbau ini masih banyak ditaati oleh
masyarakat Kudus hingga saat ini.
Wafatnya Sunan Kudus
Pada tahun 1550 M Sunan Kudus
meninggal dunia saat menjadi Imam sholat Subuh di Masjid Menara Kudus, dalam
posisi sujud. kemudian dimakamkan di lingkungan Masjid Menara Kudus.
Keturunan Sunan Kudus
Di antara keturunan Sunan Kudus yang
menjadi Ulama' dan Tokoh di Indonesia adalah: Syekh Kholil Bangkalan Azmatkhan
Ba'alawi Al-Husaini, Syekh Bahruddin Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini, dan Syekh Shohibul Faroji Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini.
SUMBER WIKIPEDIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar